Rabu, 05 Oktober 2011

APA YANG ANDA KETAHUI TENTANG CREDIT UNION

NAMA  : ATIKA RETNO WULAN
KELAS  : 2EB21
NPM      : 21210211


Credit Union (CU), diambil dari bahasa Latin "credere" yang artinya percaya dan "union" atau "unus" berarti kumpulan. Sehingga "Credit Union" memiliki makna kumpulan orang yang saling percaya, dalam suatu ikatan pemersatu dan sepakat untuk menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.

Credit Union, menurut Pendiri Credit Union Pancur Kasih, Drs Anselmus Robertus Mecer, 53, pertama kali muncul di Indonesia pada 1960-an yang mulai dikembangkan dari barat.

Seorang pastor Katolik asal Jerman bertugas di Indonesia dan membawa konsep tersebut. Kemudian CU mulai diperkenalkan ke Kalimantan Barat pada 1975.

Melalui gereja Katolik, diadakan pelatihan pembentukan CU sehingga lahir 40 kelompok. Namun pasang dan surut selalu ada. Satu demi satu, CU berguguran lantas hilang. Kemudian pada tahun 1985, dilakukan sosialisasi ulang dan pelatihan. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), salah satunya, Pancur Kasih, mengikuti pelatihan tersebut.

"Saya mewakili Pancur Kasih ikut dalam pelatihan itu," kata AR Mecer saat ditemui beberapa waktu lalu.

Setelah mengikuti pelatihan selama tiga hari, AR Mecer mengaku tertarik, sehingga pada tahun yang sama mulai membangun lembaga keuangan itu bersama sejumlah rekannya.

Maka dibentuklah CU Khatulistiwa Bhakti, sebagai CU pertama di Kalimantan Barat yang berdiri pada 12 Mei 1985. Hingga Maret 2007
CU masih punya anggota sebanyak 10.707 orang.

Keberadaan CU, katanya, memiliki manfaat besar bagi masyarakat. Mungkin sebagian orang masih bertanya-tanya, CU tentu saja sama artinya dengan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan lain. Namun, bagi mereka yang bergelut dalam bidang ini, tentulah menampik dugaan tersebut.

Credit Union, tentu saja beda dengan koperasi atau lembaga perbankan umumnya, demikian pendapat Mariamah Achmad seorang aktivis penggagas pembentukan CU Muare Pesisir yang anggotanya kebanyakan para perempuan pencari nafkah keluarga.

Menurut ia, manfaat CU bagi anggota adalah mengubah pola pikir. Maksudnya, dari yang terbiasa instan -- langsung memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman -- menjadi menciptakan modal dahulu dengan menabung secara rutin. Jika telah tercipta modal atau tabungan, baru memanfaatkan atau meminjam. "Inilah yang tidak ditemukan di lembaga keuangan lainnya," katanya, berpromosi.

Selain itu, CU juga dapat mengubah kebiasaan seseorang dari tidak biasa menabung menjadi biasa menabung. Anggota CU selalu mempunyai uang dalam bentuk tabungan yang terus meningkat, dan selalu bisa memanfaatkan tabungan untuk meningkatkan jumlah untuk menciptakan aset.

Ia mengatakan, pada awalnya, sebagian besar anggota CU tidak biasa menabung secara rutin. Tetapi setelah menjadi anggota dan banyak belajar, mereka pun akhirnya menyadari manfaat menabung rutin itu. Apalagi dengan menabung, anggota mendapatkan balas jasa simpanan (BJS).

Jika menjadi anggota CU, seorang anggota mesti menabung untuk meningkatkan modal. "Menabung sistem CU berbeda dengan menabung secara `tradisional` di lembaga lain, misalnya bank, setelah menabung, uang itu ditarik untuk dipergunakan. Tetapi di CU, lebih modern karena ada dana yang tersimpan


Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat akan keberadaan CU, jumlah lembaga keuangan itu terus bertambah dari tahun ke tahun.

Menurut data Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Kalimantan (BK3D), saat ini sudah ada 48 credit union yang menjadi anggota organisasi tersebut.

BK3D yang diibaratkan sebagai "Bank Indonesia" credit union tersebut, saat ini sudah memiliki anggota tersebar pada tujuh kabupaten/kota di Kalimantan Barat, ditambah dari Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Papua, dan DKI Jakarta.

Kemunculan CU di beberapa tempat tidak terlepas dari kesuksesan yang diraih CU perintisan dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Keberadaan CU perintisan seperti, Khatulistiwa Bhakti, agaknya menjadi pondasi yang kokoh memunculkan CU-CU lain yang juga mengalami perkembangan sangat pesat.
  

Editor: Suryanto

KENAPA KOPERASI DI INDONESIA MATI SURI

NAMA  : ATIKA RETNO WULAN
KELAS  : 2EB21
NPM     : 21210211


JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan menargetkan, jumlah koperasi tak aktif yang kini jumlahnya mencapai 25 persen dari total koperasi di Indonesia sebanyak 187.000 unit akan tinggal menjadi 5 persen pada 2014.

"Saat ini dari 187.000 koperasi di Indonesia masih sebanyak 25 persen mati suri, ini tanggung jawab bersama antara Kementerian Koperasi dan UKM bersama Dekopin," kata Menteri Koperasi dan UKM, Sjarifuddin Hasan, malam ini.

Ia mengatakan, untuk menekan jumlah koperasi mati suri harus diupayakan pengaktifannya kembali minimal 5-7 persen per tahun.

Dengan demikian, pihaknya berharap pada 2014 mendatang, jumlah koperasi mati suri bisa ditekan menjadi hanya 5 persen dari seluruh koperasi yang ada di Tanah Air.

"Kalau ini tidak bisa kita wujudkan, rapor merah ada di depan mata," katanya.

Menteri juga berharap pada 2012, akan ada koperasi Indonesia yang masuk dalam list 300 koperasi terbesar dunia. Pihaknya telah membentuk tim khusus untuk mengkategorisasi prasyarat koperasi agar bisa masuk dalam list bergengsi itu.

Ia mencontohkan beberapa koperasi di Indonesia yang bisa diusulkan di antaranya Koperasi Karyawan Semen Gresik, Koperasi Nasari, Kospin Jasa, atau Kopdit Credit Union di Kalimantan yang memiliki aset mencapai Rp9 triliun.

Selain Menteri Koperasi dan UKM RI, peresmian UKM Center yang pertama di luar pulau Jawa itu juga tampak dihadiri sejumlah pejabat penting daerah seperti Gubernur Sumsel, Manager Telkom Indonesia Palembang, Pimpinan BI Palembang, Pimpinan Bank Sumsel Babel dan unsur Muspida.
“Jumlah koperasi mati suri Sumsel cukup baik yah karna masih di bawah jumlah nasional 25%. Ini kita dorong terus, agar tahun 2014 tidak ada lagi koperasi yang mati suri,” ujar DR. Syaefudin Hasan.
Menurut dia jumlah koperasi mati suri di Sumsel sebanyak 20% dari total koperasi yang terdaftar 4300 unit masih cukup membanggakan. Karena saat ini secara nasional total koperasi mati suri di Indonesia justru lebih tinggi mencapai 25% dari total 177.483 unit. Selain karena keterbatasan modal, koperasi mati suri ini kata dia juga banyak dipicu kurangnya akses pemasaran.
Hal ini sangat disayangkan mengingat koperasi merupakan lembaga keuangan dan organisasi yang paling ampuh menurunkan tingkat kemiskinan serta membangun perekonomian nasional. “Paradigma lama koperasi jangan dipakai lagi tapi harus diubah. Karena potensi koperasi luar biasa. Jangan hanya ketika terpuruk saja baru ingat koperasi,” tegasnya.
Saat ini jelas Syarifudin, kontribusi koperasi patut didukung karena memberikan sumbangan hingga 50% bagi pembangunan. Kalau saja kekuatan ini dapat diidentifikasi tentu pemahaman tentang koperasi juga akan berubah. Salah satu caranya dengan merevitalisasi koperasi menuju bisnis-bisnis ke level yang lebih tinggi.


KAJIAN TENTANG PASAL 33 UNDANG-UNDANG TAHUN 1945

NAMA  : ATIKA RETNO WULAN
KELAS : 2EB21
NPM     : 21210211


KAJIAN PASAL 33 UUD 1945


(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Membangun perekonomian nasional berarti membangun badan usaha koperasi yang tangguh, menumbuhkan badan usaha swasta yang kuat dan mengembangkan BUMN yang mantap secara simultan dan terpadu dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak. Karena pemahaman dan pemikiran terhadap koperasi dalam arti yang luas dan mendasar seperti dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, memang sangat diperlukan.

Referensi :
Warta Warga Universitas Gunadarma



HUBUNGAN ANTARA KOPERASI DENGAN PEREKONOMIAN INDONESIA

NAMA   : ATIKA RETNO WULAN
KELAS   : 2EB21
NPM      : 21210211


Krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia) pada tahun 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus memberikan pelajaran sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan ekono-mi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerak-yatan (diantara mereka adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi, mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gem-puran badai krisis moneter yang melanda Indonesia.

Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persai-ngan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala internasional. Dalam negara perdagangan bebas tersebut, perusahaan-perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan, antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Koperasi di Indonesia berfungsi sebagai badan usaha yang punya azas kekeluargaan dan menguta-makan kesejahteraan anggota, tidak hanya melulu mencari keuntungan saja, pada umumnya bidang usahanya banyak meng-gunakan kandungan lokal, sehingga dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam negeri dan dapat dijadikan penghasil produk unggulan.

Ekonomi rakyat beberapa waktu terakhir menjadi istilah baru yang banyak didiskusikan dalam berbagai forum dan oleh banyak pihak. Bukan tanpa alasan ekonomi rakyat seolah-olah menjadi trendsetter baru dalam wacana pembangunan. "Ambruknya" ekonomi Indonesia yang selama lebih dari tiga dasawarsa selalu dibanggakan oleh pemerintah, memaksa berbagai pihak meneliti kembali struktur perekonomian Indonesia. Berbagai kajian yang dilaku-kan berhasil menemukenali satu faktor kunci yang menyebabkan keambrukan ekonomi Indonesia yaitu ketergantungan ekonomi Indonesia pada sekelompok kecil usaha dan konglomerat yang ter-nyata tidak memiliki struktur internal yang sehat. Ketergantungan tersebut merupakan konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi neoliberal yang mengedepankan pertumbuhan dengan asumsi apabila pertumbuhan tinggi dengan sendirinya akan membuka banyak lapangan kerja, dan karena banyak lapangan kerja maka kemiskinan akan berkurang. Kebijakan ekonomi tersebut ternyata menghasilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang. Didalam struktur ekonomi yang tidak seimbang tersebut, sekelompok kecil elit ekonomi -- yang menurut BPS jumlahnya kurang dari 1% total pelaku ekonomi -- mendapatkan berbagai fasilitas dan hak istimewa untuk menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi dan karenanya mendominasi sumbangan dalam PDB, pertumbuhan ekonomi, maupun pangsa pasar. Mana-kala elit ekonomi tersebut mengalami problema keuangan sebagai akibat mis-manajemen dan praktek-praktek yang tidak sehat maka sebagai konsekuensi logisnya berbagai indikator seperti PDB dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemerosotan.

Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karak-teristik masyarakat atau anggotanya. Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan seka-ligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komu-nitas ‘bazar-ekonomi’. Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkem-bang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menjadi sangat individualis, dan ber-orientasi kapital. Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas. Sebagai bagian dari identifi-kasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional. Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang mem-butuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.

Peningkatan Citra Koperasi, pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidakjelasan, tidak profesional, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berita negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, pada-hal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra kope-rasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun per-kembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bah-kan sebagai sesuatu yang ‘sudah seha-rusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.